Presentasi berikut meliputi Konsep Dasar Analisis SWOT, Identifikasi lingkungan Internal dan Eksternal, Pemahaman Faktor-Faktor Lingkungan Internal, Pemahaman Faktor-Faktor Lingkungan Eksternal, Langkah-Langkah dalam Analisis SWOT, Impementasi Analisis SWOT, Ilustrasi SWOT Sebagai Alat Perumus Strategi dan beberapa contoh riel dalam analisis SWOT.

Konsep Dasar Analisis SWOT, Langkah-Langkah dalam Analisis SWOT, Impementasi Analisis SWOT

Konsep Dasar Analisis SWOT, Langkah-Langkah dalam Analisis SWOT, Impementasi Analisis SWOT

Konsep Dasar Analisis SWOT, Langkah-Langkah dalam Analisis SWOT, Impementasi Analisis SWOT
Konsep Dasar Analisis SWOT, Langkah-Langkah dalam Analisis SWOT, Impementasi Analisis SWOT
Konsep Dasar Analisis SWOT, Langkah-Langkah dalam Analisis SWOT, Impementasi Analisis SWOT
Konsep Dasar Analisis SWOT, Langkah-Langkah dalam Analisis SWOT, Impementasi Analisis SWOT
Konsep Dasar Analisis SWOT, Langkah-Langkah dalam Analisis SWOT, Impementasi Analisis SWOT
Konsep Dasar Analisis SWOT, Langkah-Langkah dalam Analisis SWOT, Impementasi Analisis SWOT
Konsep Dasar Analisis SWOT, Langkah-Langkah dalam Analisis SWOT, Impementasi Analisis SWOT
Konsep Dasar Analisis SWOT, Langkah-Langkah dalam Analisis SWOT, Impementasi Analisis SWOT
Konsep Dasar Analisis SWOT, Langkah-Langkah dalam Analisis SWOT, Impementasi Analisis SWOT
Konsep Dasar Analisis SWOT, Langkah-Langkah dalam Analisis SWOT, Impementasi Analisis SWOT
Konsep Dasar Analisis SWOT, Langkah-Langkah dalam Analisis SWOT, Impementasi Analisis SWOT

Sumber: Workshop Orientasi Dan Penguatan Kompetensi Teknis Penyusunan Perencanaan Strategis Dan Tahunan Daerah Partisipatif, Kerjasama antara USAID dan LGSP – Surabaya 13-16 Maret 2006

Krisis Energi dan Perencanaan Kota Kompak

Dalam beberapa bulan terakhir, harga minyak dunia tiba-tiba kembali melambung, tak tanggung-tanggung hingga mencapai US$ 56,96 perbarel di bursa komoditas berjangka New York (New York Mercantile Exchange) sejak pertengahan Maret 2005 yang lalu. Harga ini melebihi level tertinggi yang pernah dicapai tahun lalu yakni US$ 55,54 per barel (Tempo Interaktif, 17 Maret 2005). Kematian Raja Fahd baru-baru ini juga membuat harga minyak kembali naik sampai bahkan di atas US$ 61 per barel, meskipun belum setinggi harga minyak pada 7 juli 2005 pasca serangan bom di London yakni US$ 62 per barel (Kompas, 2 Agustus 2005).

Tak ayal lagi, banyak negara-negara konsumen minyak dunia termasuk Indonesia, kelimpungan. Bayangkan, pemerintah Indonesia sebelumnya telah mengasumsi harga minyak dalam APBN-P 2005 hanya sebesar US$ 35 per barel dengan nilai tukar rupiah Rp. 9.000 per dolar. Padahal, dalam kondisi rakyat Indonesia seperti saat ini, menaikkan harga BBM adalah sangat riskan yang bisa-bisa memicu gejolak sosial hingga mengancam stabilitas politik nasional.


Oleh karena itu, pemerintah dan banyak pihak telah menggaungkan himbauan efisiensi dan efektifitas kerja guna menekan penggunaan BBM. Memang benar, secara normatif, menghemat konsumsi energi khususnya penggunaan minyak BBM adalah salah satu pilihan bijak. Namun, sebenarnya ada hal yang lebih sistemik, rasional dan berjangka panjang untuk mengurangi secara signifikan konsumsi energi tersebut yakni dengan konsep perencanaan ruang-ruang kota yang dapat menghemat energi dimana manusia beraktifitas di dalamnya. Memang cara ini tidak bisa dibuat dengan cepat sehingga segera pula terlihat hasilnya, karena dibutuhkan perencanaan yang matang, memerlukan komitmen dan waktu yang cukup panjang seiring dengan perkembangan kota itu sendiri.

Kota dan Konsumsi Energi
Ada semacam konsensus yang berkembang bahwa pembangunan berkelanjutan adalah sangat esensial bagi perkembangan kota-kota di masa depan. Karena aktifitas manusia dipercaya tidak akan dapat selamanya menggunakan dan mengambil sumber-sumber yang ada sekarang tanpa akan membahayakan kesempatan bagi generasi berikutnya. Kota-kota adalah area penting bagi berbagai aktifitas manusia dan mereka ini adalah konsumen terbesar dari sumber-sumber alam.

Paling tidak separuh populasi penduduk dunia kini diperkirakan telah tinggal di kota-kota. Di tahun 1995 saja, telah 45% dari penduduk dunia tinggal di area urban, dan sekitar 1 milyar dari 2.6 milyar penduduk dunia telah tinggal di kota-kota besar (Jenck, 1996). Di masa depan, kecenderungan banyaknya populasi penduduk dunia yang tinggal di area urban ini diprediksi akan makin meningkat. Dengan kecenderungan ini maka kota-kota akan makin dipandang sebagai lokasi yang paling banyak mengkonsumsi energi.

Kondisi ini akan semakin parah lagi jika perencanaan dan pengelolaan kota tidak mempertimbangkan aspek-aspek ruang kota yang dapat menghemat energi dan mendukung efisiensi ini. Terbukti banyak kota-kota di negara berkembang yang belum mempertimbangkan aspek-aspek ini dalam perencanaan dan pengelolaannya.

Munculnya kota-kota yang tersebar ke dalam wilayah pinggiran, berakibat kepada tersebarnya dan kurang meratanya penyediaan pelayanan-pelayanan dari sub-sub urban. Akibat lainnya adalah mahalnya biaya pembangunan infrastruktur, meningkatnya kemacetan karena bertambahnya volume lalu lintas, hilangnya banyak lahan pertanian, berkurangnya kenyamanan hidup baik di kota maupun wilayah pinggiran, dan terancamnya kondisi stabilitas pedesaan. Pada akhirnya, konsumsi energi bagi kota dan warganya juga akan semakin besar dan tak terelakkan.

Dengan kepadatan populasi penduduk yang besar, maka konsentrasi persoalan-persoalan lingkungan, konsumsi sumber-sumber alam termasuk minyak khususnya, akan terakumulasi pada problematika kota ini. Oleh karena itu merencana, mengelola dan memenej bentuk dan ruang kota dengan kebijakan publik yang benar, akan menjadi satu faktor kunci keberhasilan penghematan ini. Pada akhirnya, jika kebijakan dan prakteknya dapat ditemukan dan dijalankan dengan benar, sudah dipastikan akan mendapatkan efisiensi dan keuntungan yang besar.

Konsep Kota Kompak
Dalam berbagai diskusi tentang pola-pola ruang dan bentuk kota yang berkelanjutan, wacana yang diistilahkan sebagai Kota Kompak (compact city) tampaknya telah menjadi isu paling penting dewasa ini. Perhatian besar saat ini telah memfokuskan pada hubungan antara bentuk kota dan keberlanjutan, bahwa bentuk dan kepadatan kota-kota dapat berimplikasi pada masa depan mereka.

Dari debat itu, argumen-argumen yang kuat sedang dimunculkan bahwa Kota Kompak adalah bentuk kota yang dianggap paling berkelanjutan. Inilah yang diungkapkan oleh Mike Jenks, Elizabeth Burton dan Katie Williams (1996) dalam buku mereka berjudul Compact City: A Sustainable Urban Form? Buku ini juga sekaligus mengajukan berbagai opini dan riset dari serangkaian disiplin ilmu, dan memberikan suatu pemahaman dari debat teoritis dan tantangan-tantangan praktis yang melingkupi gagasan Kota Kompak ini.

Tidak dipungkiri bahwa gagasan Kota Kompak didominasi oleh model dasar dari pembangunan yang padat dari banyak kota-kota bersejarah di Eropa. Maka tidak mengherankan jika para penganjur paling kuat bagi Kota Kompak adalah Komunitas Eropa (Commission of the European Communities, 1990).

Kota Kompak ini memang digagas tidak sekadar untuk menghemat konsumsi energi, tetapi juga diyakini lebih menjamin keberlangsungan generasi yang akan datang. Jenks menyebutkan bahwa ada suatu hubungan yang sangat kuat antara bentuk kota dengan pembangunan berkelanjutan, tetapi sebenarnya tidaklah sesederhana itu atau bahkan langsung berbanding lurus. Ini seolah-olah telah dikesankan bahwa kota yang berkelanjutan adalah ”Mesti terdapat suatu ketepatan dalam bentuk dan skala untuk berjalan kaki, bersepeda, efisien transportasi masal, dan dengan kekompakan dan ketersediaan interaksi sosial” (Elkin et.al., 1991, p.12).

Namun demikian, dalam Kota Kompak ini terdapat gagasan yang kuat pada perencanaan ”urban containment”, yakni menyediakan suatu konsentrasi dari penggunaaan campuran secara sosial berkelanjutan (socially sustainable mixed uses), mengkonsentrasikan pembangunan-pembangunan dan mereduksi kebutuhan perjalanan, hingga mereduksi emisi kendaraan-kendaraan. Oleh karena itu promosi penggunaan public transport (transportasi publik/masal), kenyamanan berlalu-lintas, berjalan kaki dan bersepeda adalah sering dikutip sebagai solusi (Elkin, et.al., 1991; Newman, 1994).

Lebih lanjut, melalui perencanaan efisiensi penggunaan lahan, yang dikombinasikan dengan skema daya listrik dan pemanasan, dan bangunan hemat energi juga akan dapat mereduksi emisi-emisi polutan yang beracun. (Nijkamp and Perrels, 1994; Owens, 1992). Kepadatan tinggi dapat membantu membuat persediaan amenities (fasilitas-fasilitas) dan yang secara ekonomis viable, serta mempertinggi keberlanjutan sosial (Haughton and Hunter, 1994).

Peluang Penerapannya di Indonesia
Menerapkan secara penuh gagasan Kota Kompak bagi perencanaan kota-kota di Indonesia jelas masih membutuhkan kajian, studi dan riset tersendiri. Bagaimanapun konsep Kota Kompak bukanlah sebuah konsep yang kaku dan sederhana yang menggambarkan sebuah bentuk kota tertentu. Adanya perbedaan masing-masing karakteristik kota dan budaya masyarakat yang menghuninya harus dimaknai bahwa Kota Kompak juga perlu dilihat dalam konteks kekhasan budaya, ekonomi dan identitas fisik kotanya saat ini untuk perubahan kota (urban change) di masa datang yang lebih baik dan efisien.

Namun ada hal yang sudah pasti yakni jika kita melihat Kota-kota Besar di Indonesia saat ini seperti Jakarta dan Surabaya, adalah terjadinya perkembangan kota yang padat dan semakin melebar secara horisontal tanpa batas yang jelas. Pelebaran ini mengakibatkan munculnya kota-kota pinggiran yang menjadi penyangga akibat perkembangan Kota Jakarta seperti Kota Depok, Bogor, Bekasi, Tangerang, dll. Banyak pegawai yang bekerjanya di Jakarta tetapi tinggalnya di Kota-kota pinggiran tersebut sudah dipastikan hadirnya inefisiensi dari segi waktu, tenaga, dana, sumber-sumber energi dan lain-lain. Maka membangun kota yang padat dan vertikal sudah menjadi sebuah kemestian bagi perkembangan kota Jakarta dan kota besar lainnya di masa datang.

Inefisiensi itu lebih diperparah lagi ketika perkembangan kota-kota besar itu belum diiringi dengan penyediaan transportasi masal yang representatif dan memadai. Bagi kota-kota besar di Indonesia, dalam hal penyediaan public transport seperti busway, monorail, dan berbagai jenis mode transportasi masal jelas suatu yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Kemacetan di banyak kota-kota besar akibat meningkatnya volume kendaraan karena bertambahnya pengguna mobil pribadi adalah sesuatu yang mesti segera diakhiri. Pada akhirnya konsumsi energi khususnya minyak BBM yang harganya fluktuatif itu diharapkan juga bisa sangat terkurangi. Wallahu alam bishawwab

Read More in: Krisis Energi dan Perencanaan Kota Kompak
Bambang S. Budi, Staf Pengajar Departemen Arsitektur ITB dan Kandidat Doktor Arsitektur di Toyohashi University of Technology, Jepang.

Tantangan Bagi Perencana Kota di Era Kesejagatan

Oleh: Eko Budihardjo
ERA kesejagatan yang melanda perkotaan sudah kita nikmati hikmahnya dan kita tanggung deritanya. Makin lama nampaknya akan makin gawat, rumit, dan muskil.
Richard Rogers, seorang arsitek-perencana kota kondang dari Inggris, sampai-sampai tega menohok: “Cities are undermining the world’s ecosystem…. they are becoming socially diversive and environmentally hazardous.”
Padahal abad ke-21 ini sudah dicanangkan sebagai abad perkotaan, karena lebih dari separuh penduduk dunia akan berada di daerah perkotaan. Kota-kota kecil akan berubah menjadi kota sedang, kota-kota sedang akan tumbuh menjadi kota besar, kota-kota besar akan berkembang jadi kota raya (metropolis). Tidak hanya berhenti di situ, karena kota-kota raya pun akan mekar menjadi kota mega (megapolis), untuk kemudian menjadi kota-dunia (ecumenopolis), dan bila tidak hati-hati akan berakhir dengan kedudukan tragis sebagai kota mayat (necropolis).
Tudingan Richard Rogers barangkali memang ada benarnya, pernyataannya tidak terlalu salah. Namun manusia sebagai satu-satunya makhluk ciptaan Tuhan yang diberkahi dengan kemampuan membangun kota, pastilah akan mampu pula mencari alternatif jalan keluar agar tidak terjadi tragedi ‘meninggalnya’ kota-kota besar di Indonesia.
Para perencanaan kota sebagai kaum profesional yang sedikit banyak ikut bertanggung jawab dalam proses terjadinya centang perenang kota, seyogianya merenung, berhenti sejenak, mawas diri, untuk kemudian bertekad meningkatkan kadar profesionalisme masing-masing.
Yang diharapkan tidak sekadar pemikiran atau penalarannya, melainkan juga kesadaran batin, intuisi, insting, dan bahkan juga mimpi-mimpi indah mereka tentang kota masa depan yang didambakan.
Aneka tantangan
Dunia yang semakin mengota dan kota yang semakin mendunia membawa serta aneka tantangan yang harus dihadapi oleh para perencana kota. Tantangan yang paling berat adalah yang menyangkut ulur-tarik pertentangan adu kuat antara sektor formal vs sektor informal, atau sektor modern vs sektor tradisional. Lazimnya yang disebut belakangan (informal dan tradisional) yang selalu saja kalah, tersungkur dan tersingkir dari kawasan strategis di perkotaan.
Lapangan kerja di era kesejagatan yang lebih menuntut kualitas kepandaian dan keterampilan yang tinggi, kian menambah angka pengangguran di perkotaan. Terlebih-lebih dengan adanya gejolak ekonomi akibat tutupnya belasan bank dan ‘pingsan’-nya puluhan atau bahkan mungkin ratusan perusahaan real estat atau pengembang besar di berbagai kota di Tanah Air.
Tidak kalah merisaukan adalah tantangan menghadapi kecenderungan eksklusivisme yang menimbulkan kesan isolasi atau segregasi sosial. Akibat ikutannya yang tak terelakkan adalah tumbuhnya rasa kecemburuan sosial karena kesenjangan yang terlalu lebar.
Dengan tipisnya kohesi sosial, tak pelak lagi merebaklah apatisme. Masyarakat perkotaan tak lagi memiliki rasa memiliki yang kental terhadap lingkungan. Dan angka kriminalisme pun lantas meningkat karena tipisnya nuansaneighbourliness atau sense of community.
Ditilik dari segi tata ruang secara fisik, spasial dan visual, sudah dapat dilihat dengan jelas sekarang betapa semrawutnya dan macetnya lalu lintas Ibu Kota kita. Memang masih belum separah kota Bangkok yang jalan rayanya dilecehkan sebagai tempat parkir mobil terpanjang di dunia. Kendati begitu, seperti yang dikeluhkan oleh Jane Jacobs: “a jam is a jam is a jam” (baca buku Dough Aberley: Futures by Design, 1994).
Perkembangan kota yang melebar seolah tanpa batas (urban sprawl) kian memperparah situasi dan kondisi jaringan jalan yang saat ini saja sudah kelebihan beban.
Tantangan lain yang sangat merisaukan adalah yang menyangkut aspek biofisik: pencemaran udara (Jakarta termasuk kota nomor tiga di dunia yang paling tercemar udaranya), pencemaran air (termasuk intrusi air laut), dan degradasi lahan.
Bilamana degradasi lingkungan dan ketidakseimbangan ekologis itu tidak segera dibenahi, dambaan untuk menciptakan kota yang bertahan kelanjutan (sustainable cities) pastilah tidak akan dapat mengejawantah dalam kenyataan.
Membalik kecenderungan
Bila kita cermati, kecenderungan perkembangan perkotaan kita memang menyuguhkan berbagai fenomena yang paradoksal.
Tatkala yang sangat dibutuhkan adalah jaringan transportasi dan kendaraan umum yang murah dan dapat menjangkau segenap pusat-pusat kegiatan perkotaan, kenyataannya yang cenderung dibangun adalah jalan layang, jalan arteri, jalan tol, yang lebih mewadahi kepentingan pemilik/pengguna mobil pribadi.
Manakala kebutuhan akan rumah sederhana (RS) dan rumah sangat sederhana (RSS) terhitung luar biasa besarnya, yang dibangun dengan gegap gempita adalah justru apartemen, kondominium, dan ruko atau rukan mewah di berbagai lokasi strategis.
Dewasa ini boleh dikata tidak ada lagi tempat bagi RS dan RSS di kawasan perkotaan, kecuali di daerah pinggiran. Ketika rakyat banyak sangat merasakan kebutuhan akan taman lingkungan, lapangan olahraga untuk badminton, voli, basket atau sepak bola yang tidak terlalu luas dan tidak mahal, yang dibangun malah lapangan-lapangan golf kelas dunia dengan belasan lubang. Tidak usah heran bila para pelajar dan bahkan juga mahasiswa cenderung menyalurkan energinya melalui perkelahian massal atau tawuran di jalan-jalan, atau di kampus masing-masing.
Persepsi dan penggunaan ruang kota yang terlalu terpasung pada aspek dua dimensi, mengakibatkan terjadinya kecenderungan pemekaran kota yang melebar secara horizontal. Akibatnya, pembangunan infrastrukturnya terhambat dan jarak tempuh dari rumah ke lapangan kerja juga semakin jauh. Waktu lebih banyak terbuang di jalan dalam perjalanan ulang-alik yang acap kali diwarnai kemacetan. Kalau di luar negeri jam-jam puncak atau jam-jam sibuk disebut dengan ‘rush hours’, di Tanah Air kita barangkali lebih tepat disebut stagnant hours.
Menyimak berbagai paradoks dan kemencengan semacam itu, tantangan utama yang harus dihadapi dan mesti segera ditanggulangi para perencana kota dan segenap aktor penentu pembangunan perkotaan adalah bagaimana caranya membalik kecenderungan yang melenceng itu.
Visi kota masa depan
Kiranya sudah saatnya dirumuskan dan digariskan secara tegas dan jelas visi kota masa depan yang menjadi idaman kita semua.
Tidak akan terlalu keliru bila kita kibarkan panji-panji keberlanjutan (sustainability) untuk kota-kota Indonesia masa mendatang. Keberlanjutan dalam pembangunan kota tidak sekadar mengandung pengertian keberlanjutan ekologis atau biofisik semata-mata, melainkan juga keberlanjutan sosio-kultural, dan keberlanjutan ekonomis.
Seorang perencana atau pengelola kota yang profesional sepatutnya memiliki wawasan holistik, memahami arti-pentingnya keanekaragaman hayati, konservasi warisan alam dan warisan budaya. Selain itu harus mampu mengupayakan keterpaduan antara tata guna lahan dengan jaringan transportasi dan infrastruktur, serta memiliki kiat untuk penciptaan komunitas berimbang yang menumbuhkan kohesi sosial. Tidak kurang pentingnya adalah pemahaman tentang seluk-beluk kepemerintahan dan pranata kelembagaan, yang harus mulai berwawasan kewirausahaan.
Kota masa depan dalam era kesejagatan diharapkan akan mampu berfungsi sebagai pemicu peradaban, mesin penggerak ekonomi, dan sekaligus juga tempat yang nyaman bagi kehidupan manusia. Segenap pihak yang terlibat dalam proses perencanaan dan pembangunan kota mesti bersepakat untuk memperlakukan kota sebagai ‘rumah’, bukan sebagai ‘hotel’.
Bila rumah rusak, kita pasti berusaha memperbaikinya, sedangkan bila hotel yang rusak pasti akan kita tinggalkan, untuk kemudian mencari hotel lain yang lebih baik. Kode etik yang harus kita junjung tinggi adalah bahwa dalam membangun kota yang kita perlakukan sebagai ‘rumah’ kita, mesti dilandasi rasa kecintaan terhadap bumi, air, atau lingkungan kita dan juga kecintaan terhadap warga atau segenap lapisan masyarakat.
Kota masa depan yang ramah lingkungan dan berwajah kemanusiaan itu, akan bisa menjadi surga kehidupan manusia di dunia nyata. Kita tidak harus meninggal dunia dulu untuk dapat sedikit merasakan nikmatnya surga.
*(Eko Budihardjo, Guru Besar dan Dekan Fakultas Teknik Undip, Ketua Kehormatan Ikatan Ahli Perencanaan (IAP) Jateng.)

Perencanaan Kota Jangan Abaikan Keberadaan dan Hak Orang Miskin

Jakarta, Kompas – Kebijakan rencana tata ruang kota selama ini cenderung tidak bertolak dari akar permasalahan yang harus diselesaikan, yakni masalah kemiskinan dan kerusakan lingkungan. Perencanaan tata kota yang tidak adil dan mengabaikan hak hidup orang miskin akan memunculkan kerusuhan, kriminalitas, dan konflik berkelanjutan yang akan mengancam proses pembangunan kota itu sendiri.

Demikian dikemukakan Ny Madrim Djody Gondokusumo dalam disertasi yang dipertahankannya di depan senat akademik Universitas Indonesia di Kampus UI Salemba, Sabtu (9/4). Ia dipromotori oleh Prof Dr Herman Haeruman. Madrim dinyatakan lulus dengan predikat sangat memuaskan.

Dalam disertasinya, Madrim mengungkapkan eratnya keterkaitan antara masalah kemiskinan dan perencanaan tata ruang. Perencanaan tata ruang yang memerhatikan masyarakat miskin di dalamnya akan dapat meningkatkan kualitas hidup rakyat miskin.

“Akan tetapi, kenyataannya peningkatan kualitas masyarakat miskin sering diabaikan dan kalaupun ada, cenderung bersifat fisik,” kata Madrim.

Proyek perbaikan kampung kumuh MHT yang diberi penghargaan dari dunia internasional, menurut Madrim, bisa dikatakan berhasil dari segi fisiknya. Akan tetapi, keberhasilan perbaikan fisik itu ternyata sedikit sekali pengaruhnya untuk meningkatkan kualitas masyarakat yang hidup di kawasan itu.

“Secara fisik, kampung-kampung terlihat lebih bersih dan indah. Meski demikian, orang- orang yang tinggal di kawasan itu tetap miskin,” papar Madrim.

Jadikan acuan
Maka, ia menyarankan agar keberadaan orang-orang miskin menjadi acuan dalam pembangunan kota. Peruntukan kepemilikan lahan sebaiknya tidak disamaratakan untuk semua strata kaya dan miskin sehingga akhirnya lahan masyarakat miskin diperjualkan dan kemudian dikuasai oleh orang- orang yang mampu secara sosial ekonomi. Akibatnya, masyarakat miskin tidak mempunyai lahan dan mereka akan selalu terusir dan tergusur.

Meski sulit untuk memotong interaksi antara kemiskinan dan kerusakan lingkungan, Madrim menyarankan agar kondisi multidimensional masyarakat yang tinggal di dalamnya diperhatikan.
Pembangunan yang holistik dan bertahap untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat perlu diperhatikan, termasuk pendidikan.

Ia memberikan contoh, pendirian puskesmas dan distribusi beras untuk rakyat miskin sulit dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat di kampung miskin bila tidak disertai dengan penyediaan air bersih.
Madrim menawarkan pendekatan baru dalam perencanaan kota dengan pendekatan dari bawah ke atas, pengambilan keputusan dilakukan secara demokratis melalui dialog-dialog emansipatoris antara kaum elite dan masyarakat.

Ia juga mengajak para perencana kota untuk mengintegrasikan etika dan ilmu pengetahuan. Para perencana kota diharapkan tidak hanya menggunakan pendekatan pemikiran modern, tetapi juga memerhatikan nilai-nilai keadilan sosial dalam pembangunan kota. (wis)

Read More in: Perencanaan Kota Jangan Abaikan Keberadaan dan Hak Orang Miskin
KompasHumaniora, Senin 11 April 2005

Sejarah Jembatan Semanggi – Jakarta

Proses pembangunan Jembatan Semanggi tidaklah mudah. Presiden Soekarno banyak diprotes.

Bangunan fisik Jembatan Semanggi berupa jalan layang yang melingkar-lingkar, Karena bentuknya mirip struktur daun lalapan, semanggi, maka kemudian meresap dan menjadi nama jembatan itu sendiri.

Pada perkembangannya, kawasan Jembatan Semanggi menjadi ciri khas Ibukota Jakarta. Jembatan ini menjadi semacam poros lalu lintas Ibukota Jakarta sekaligus sebagai simbol kemakmuran perekonomian.

Lokasi jembatan terkenal ini berada di kawasan Karet, Semanggi, Setia Budi. Pembangunannya dilakukan pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.

Proses pembangunan Jembatan Semanggi tidaklah mudah. Presiden Soekarno tidak begitu saja mendapat restu dari rakyat. Sebab, pada waktu itu orang sudah mulai berpikir kritis terhadap ide-ide pembangunan fisik.

Pada masa itu, anggota masyarakat yang kritis terhadap kebijakan pemerintah menilai bahwa gagasan Bung Karno ini hanyalah proyek mubazir. Proyek yang hanya akan menghabiskan keuangan negara dan tidak ada manfaatnya bagi kesejahteraan rakyat.

Bung Karno tentu saja memahami apresiasi yang disampaikan masyarakat. Dia menampung semua protes itu. Bung Karno mengolahnya.

Tapi, bukan Bung Karno namanya kalau kemudian mundur oleh berbagai kritik. Dia tetap mantap pada pendirian, yakni merealisasikan pembangunan Jembatan Semanggi. Tahun 1961 proyek dimulai.

Waktu itu, Jembatan Semanggi hanyalah salah satu dari paket pembangunan fasilitas publik yang akan dibangun pemerintah. Proyek lain yang juga didirikan, antara lain Gelora Senayan (Gelora Bung Karno) dan Hotel Indonesia.

Mengenai nama Semanggi, Bung Karno punya cerita sendiri. Dalam satu kesempatan, dia pernah bicara filosofi tentang daun semanggi. Filosofi yang dimaksud adalah simbol persatuan, dalam bahasa Jawa dia menyebut “suh” atau pengikat sapu lidi. Tanpa “suh” sebatang lidi akan mudah patah.

Sebaliknya, gabungan lidi-lidi yang diikat dengan “suh” menjadi kokoh dan bermanfaat menjadi alat pembersih.

Itulah sejarah singkat Jembatan Semanggi yang kini tetap berdiri kokoh dan mengimbangi pesatnya pembangunan infrastruktur Ibukota Jakarta.

Bila menilik sejarahnya, pantas memang bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menetapkan kawasan Jembatan Semanggi sebagai tempat wisata bernilai sejarah.

(Bahan tulisan diolah dari berbagai data kepustakaan)
Sumber: vivanews.com

Sejarah Harmoni – Jakarta

Legenda Harmoni bermula dari Tempat Kongkow Noni Belanda, yang Pendirian gedungnya dipelopori oleh Reinier de Klerk tahun 1776.

Hiruk pikuk kendaraan bermotor dibalut dengan kepulan asap dan kebisangan melekat erat di sebuah daerah yang seolah tak pernah mati, yakni Harmoni.

Nama harmoni, memang tak asing bagi warga Jakarta. Namun tidak semua orang mengetahui asal mula nama Harmoni tersebut. Menoleh ke belakang pada saat kependudukan Belanda, Harmoni dikenal sebagai sebuah gedung tempat berkumpulnya masyarakat Belanda bernama Harmonie.

Gedung yang dibangun tahun 1810, kini menang sudah rata dengan tanah pada Maret 1982.

Trem listrik di kawasan Harmoni tahun 1954 (Museum Sejarah Jakarta)

Posisi gedung, jika masih berdiri berada pojokan Jalan veteran dan Jalan Majapahit. Kini lahan bekas gedung itu menjadi bagian dari lahan parkir sekretariat negara.

“Memang gedung itu diratakan oleh pemerintah, dengan alasan untuk perluasan gedung sekretariat negera, kini jejak gedung itu pun sudah sirna,” kata Kepala UPT Kota Tua Chandrian, beberapa waktu lalu.

Dalam beberapa catatan sejarah disebutkan, pendirian gedung itu dipelopori oleh Reinier de Klerk tahun 1776. Semula bangunan tempat warga Belanda berpesta dibangun di Jalan Pintu Besar Selatan. “Biasanya orang Belanda kalau setiap malam akhir pekan selalu berkumpul dan pesta,” ungkapnya.
Di tempat itu juga biasa para Noni Belanda, sebutan bagi perempuan Belanda.

Namun, lambat laun kawasan itu semakin jorok. Kemudian Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels memindahkan bangunan lebih ke selatan, di pojokan Jalan Veteran dan Jalan Majapahit.

Kawasan ini tak hanya mengingatkan orang pada Societeit de Harmonie, tapi sebuah hotel bernama Hotel des Indes, yang berdiri megah di sebelah tenggara gedung Harmoni. Hal inilah yang menguatkan Harmoni sebagai kawasan yang sibuk dan tak pernah ‘mati’.

Sayangnya, Hotel ini harus ikut dilibas pembangunan tahun 1971. Hotel yang terletak tak jauh dari Gedung Harmonie ini ada di Jalan Gajah Mada. Di lokasi ini kemudian berdiri Duta Merlin, yang sekarang terkenal sebagai pusat perbelanjaan.

Menurut Chandrian, Hotel des Indes resmi beroperasi pada 1856 di tanah yang juga masih milik Reiner de Klerk. Sejarah juga merekam, hotel ini bisa sejajarkan dengan hotel Raflles di Singapura.

“Pada saat itu, hotel tersebut sudah megah dan bergensi. Hanya orang belanda dan kaum bangsawan yang menginap di sana,” ungkapnya.

Kemegahan Hotel des Indes, kini sudah tak berbekas. Tak ada yang bisa diperlihatkan kepada generasi penerus.

Kenangan-kenangan untuk menikmati romantisme terhadap sejarah pun hilang begitu saja, tergerus dengan kemajuan zaman. Namun, salah satu peninggalan yang masih bisa dinikmati kita kawasan Harmoni yaitu, Patung Hermes, yang masih menempel di Jembatan Harmoni.

Patung Hermes di dalam mitologi Yunani digambarkan sebagai dewa pelindung para pedagang.

Namun, patung yang menempel dijembatan itu adalah patung replika. Patung Hermes sempat raib sekitar Agustus 1986. “Kita sempat kaget, karena patung itu jatuh oleh orang gila yang merusaknya. Tapi akhirnya bisa diamankan oleh dinas pertamanan saat itu,” kenang Chandrian.

Sumber: vivanews.com

SEJARAH KAMPUNG BANDAN (KAMPUNG BUDAK DI BATAVIA)

Mungkin tidak banyak orang mengenal Kampung Bandan. Mereka yang mengenal pun agaknya menginisiasikan kampung yang berada di wilayah utara Jakarta sebagai tempat kumuh. Padahal di kampung ini ada cerita tersisa ketika Jakarta masih bernama Batavia. Berdasarkan catatan buku sejarah, dijelaskan asal muasal mengapa kawasan ini disebut Kampung Bandan. Pertama, kampung yang berlokasi di dekat Pelabuhan Sunda Kelapa ini diperkirakan berasal dari kata Banda, sebuah pulau di Maluku.

Ditengarai ada sekumpulan masyarakat Banda, di zaman Batavia yang menghuni kawasan ini. Penyebutan ini disebut lazim mengingat kasus lain punya kemiripan seperti penyebutan nama kampung China sebagai pecinan, atau nama tempat memungut pajak atau cukai (bea) disebut Pabean, dan Pekojan sebagai perkampungan orang Koja (Arab).


Kampung Bandan tahun 1955 (KITLV)

Banda juga bisa berasal dari kata Banda dalam bahasa Jawa berarti ikatan dibanda (diikat). Ini dihubungkan dengan peristiwa yang sering dilihat oleh warga pada zaman pendudukan Jepang.

Ketika itu Jepang sering membawa pemberontakan dengan tangan terikat melewati kampung ini untuk dieksekusi di Ancol.

Kemungkinan ketiga, yakni bahwa Banda merupakan pengucapan dari kata Pandan. Sebab di masa lalu kampung ini dipenuhi pohon pandan sehingga warga menyebut Kampung Pandan kemudian menjadi Kampung Bandan.

Apapun asal muasal nama tempat ini, yang pasti sejarah menyebutkan kampung ini merupakan penampungan budak dari Pulau Banda, Maluku, ketika JP Coen menaklukan pulau itu pada 1621.
Pembantain besar-besaran dilakukan Coen. Mereka yang selamat diboyong ke Batavia, dan budak-budak tadi memberontak melawan VOC di Marunda, Jakarta Utara.

Setelah periode perbudakan usai, para tawanan dipekerjakan di Pasar Ikan. Mengingat, kawasan kampung dekat dengan Pelabuhan Sunda Kelapa, yang otomatis dekat dengan Pasar Ikan.

Mereka tetap mendiami kampung tersebut, tumbuh berkembang dan beranak pinak. Di kawasan itu akhirnya dibangun pula jalur kereta api, yaitu ketika Pelabuhan Tanjungpriok (baru) dibangun.

Jalur kereta api itu untuk menghubungkan Pelabuhan Sunda Kelapa dan Pelabuhan Tanjung Priok.

Selain terdapat stasiun, di Kampung Bandan juga masih berdiri sebuah masjid tua yang dikenal dengan nama masjid Kampung Bandan. Dengan kondisi yang kumuh, tak sehat, kotor, dan berantakan, kawasan ini tetap layak menjadi tujuan wisata karena menyisakan stasiun dan masjid dari abad ke-19.

Kepala UPT Kota Tua, Chandrian mengatakan Kampung Bandan merupakan cagar budaya yang masuk dalam peta kawasan kota sesuai dengan peraturan Gubernur No 34 tahun 2006 adalah batas bagian timur yang masuk dalam program revitalisasi Kota Tua.

Dengan kondisi yang kumuh di Kampung Bandan seakan membawa kita kembali melihat perbudakan dan kaum marginal di era postmodern Batavia

Sumber: vivanews.com

Strategi Mengerem Laju Perkumuhan

Tahun ini, Hari Habitat Dunia mengambil tema “Planning Urban Future” atau “Merencanakan Masa Depan Perkotaan Kita”.
Peringatan itu ditandai dengan pemberian penghargaan oleh Dirjen Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum bagi kota-kota yang berhasil melakukan inovasi dan kreatif dalam mengurangi perumahan kumuh.Penilaian diberikan oleh para akademisi, anggota lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan anggota Real Estat Indonesia (REI).

Ada sembilan kota yang dinilai berhasil mengurangi jumlah perumahan kumuh di kota-kota itu. Ke-9 kota itu, yakni SurakartaPekalonganPalembang,YogyakartaSurabayaBlitarBalikpapanBontang, dan Tarakan.
1. Pekalongan 

Pekalongan sebelumnya dikenal sebagai salah satu kantong kemiskinan di Tanah Air. Hal itu ditandai dengan banyaknya rumah tidak layak huni, seperti tidak berjendela, tidak memiliki sarana mandi, cuci, dan kakus (MCK).

Sebelum 2006, ketika program rehabilitasi belum diterapkan, terdapat 5.068 unit rumah tidak layak huni di Pekalongan.

Namun kini, kondisinya telah berubah. Rumah-rumah tidak layak huni itu satu paket dengan lingkungannya telah direhabilitasi. Bahkan, program rehabilitasi yang rencana awalnya rampung pada 2014, bisa dipercepat menjadi tahun 2008.

Penyelesaian persoalan permukiman kumuh tidak berhenti sampai pada program rehabilitasi. Pemerintah Kota Pekalongan menjalankan pula program akselerasi keluarga miskin.

Program itu bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup warga yang telah mengikuti program rehabilitasi. Menurut M Basyir, Wali Kota Pekalongan, penanganan masyarakat miskin harus dimulai dari program rehabilitasi perumahan kumuh yang didiami warga.

Dia meyakini apabila warga hidup bahagia, maka produktivitas mereka akan meningkat sehingga penghasilan mereka pun akan lebih baik.

Karena keberhasilan program-program yang dijalankan, saat ini salah satu kota sentra batik Nusantara itu sering dijadikan studi banding oleh daerah lain.

Sunarti, dosen jurusan perencanaan wilayah dan kota Fakultas Teknik Universitas Diponegoro, Semarang, yang juga terlibat sebagai dewan juri mengatakan Kota Pekalongan dapat melakukan rehabilitasi perumahan kumuh karena memunyai data-data mengenai jumlah rumah kumuh dan penduduk miskin.

Meskipun terbilang sederhana, data-data itu dapat dipakai sebagai referensi untuk menjalankan rehabilitasi.

Pemerintah Kota Pekalongan juga mendirikan Badan Pemberdayaan Masyarakat yang berperan aktif dalam mengurusi permasalahan ini yang dapat bekerja lintas sektoral.

Keberhasilan program ditunjang pula karena adanya sinergi antara pemerintah dengan keinginan masyarakat.

2. Solo

Daerah lain di Jawa Tengah yang berhasil mengikuti jejak Pekalongan dalam merehabilitasi permukiman kumuhnya ialah Kota Solo atau Surakarta.

Kota itu berhasil mengurangi perumahan kumuh dan lingkungan kumuh. Melalui tangan dingin Wali Kota Solo Joko Widodo, perumahan kumuh di bantaran Kali Pepe ditata ulang.

Permukiman di sepanjang kali dimundurkan dan di pinggirnya dibuat jalan inspeksi.

Perumahan itu kemudian dilegalkan melalui pemberian surat-surat resmi. Masyarakat diberi subsidi untuk memperbaiki rumah dan fasilitas sanitasi mereka.

Bukan hanya di Kali Pepe, semua kawasan kumuh di kota itu juga ditata ulang. Penataan ulang juga berlaku terhadap tempat-tempat berjualan para pedagang kaki lima yang selama ini menambah kekumuhan kota.

Melalui pendekatan personal, wali kota secara langsung meminta para pedagang di pinggir-pinggir jalan kawasan Banjasari pindah dengan suka rela.

Setelah 50 kali pertemuan antara wali kota dengan para pedagang dari beberapa wilayah, seperti Taman Monjari, Pasar Notoharjo, dan Semanggi, mereka pun bersedia pindah tanpa harus digusur paksa atau kucing-kucingan dengan aparat.

Wali kota pun berkomitmen kepada para pedagang untuk membatasi penambahan mal dan minimarket. Kebijakan yang berpihak pada wong cilik itu tentu saja mendapat respons positif dari para pedagang.

Sunarti menyatakan keberhasilan Surakarta dalam membenahi permukiman kumuh tidak Solo tidak terlepas dari peran pemimpin daerahnya. Wali kota mampu melakukan pendekatan persuasif kepada warga.

Dialog yang positif dan terbuka serta pendekatan personal terbukti mampu menjembatani kesepahaman antara warga dan pemerintah.

Menurut Sunarti, pendekatan personal seperti yang dilakukan Wali Kota Solo patut dicontoh oleh pemimpin daerah lainnya. Pemimpin sejatinya dekat dengan rakyat dan melayani kepentingan rakyat.

Tambahan:
Dari sumber yang bisa saya percaya, dalam sebuah seminar tentang keberhasilan Kota Surakarta dalam menata permukiman kumuh, dilakukan dengancara mengundang para masyarakat “sasaran” sampai dengan 50 kali. Acara ke-1 sampai dengan ke-49 berupa acara makan makan dan tanpa diberikan penejelasan kepada warga tentang maksud undangan walikota kepada warga, kecuali acara makan makan. Sampai dengan acara yang ke-50, setelah terlebih dulu diadakan acara makan-makan, Walikota menyampaikan maksud dan tujuan sebenarnya. Dalam kondisi perut kenyang dan rasa kekeluargaan antara Walikota dan warga yang telah tercipta melalui acara ke-1 sampai dengan acara ke-49, akhirnya warga dengan ikhlas menyetujui keinginan Walikota.

3. Palembang

Palembang termasuk kota yang berhasil menyulap permukiman kumuhnya menjadi permukiman layak huni.

Pemerintah kota, melalui wali kotanya, Eddy Sanatana Putra, berhasil mengubah wajah ibu kota Bumi Sriwijaya itu menjadi kawasan yang enak dipandang.

Melalui pelaksanaan Program Kali Bersih, bantaran sepanjang Sungai Musi ditata dengan baik demi terwujudnya kawasan yang rapi, indah, dan nyaman.

Jembatan Ampera sepanjang 1.117 meter dengan lebar 22 meter sebagai ikon kota pempek itu juga diperbaiki sehingga tampak anggun. Begitu juga benteng peninggalan Kerajaan Sriwijaya yang letaknya berdampingan dengan Jembatan Ampera.

Usaha rehabilitasi dan perbaikan permukiman kumuh di Palembang melibatkan partisipasi warga. Warga yang rumahnya terkena program rehabilitasi dipindahkan ke kawasan lain.

Pemerintah Kota Palembang menyediakan kawasan siap bangun (kasiba) dan lahan siap bangun (lasiba) bagi keluarga yang rumahnya terkena program tersebut.

Sejak 2004, pemkot berangsur-angsur merencanakan penataan wilayah perkotaan secara berkesinambungan.

Pada 2007, kota dengan wilayah seluas 353.800 kilometer persegi itu bahkan dikukuhkan sebagai kota tebersih se-ASEAN. Kota itu dinilai memiliki area pasar, permukiman, pusat perbelanjaan, dan jalan-jalan yang tertata dengan rapi dan bersih.

Sumber: koran-jakarta.com (Jumat, 09 Oktober 2009)

SYSTEM PENGELOLAAN AIR LIMBAH – LIPPO KARAWACI

Berikut presentasi system Pengelolaan Air Limbah pada kawasan perumahan Lippo Karawaci dari tahap Perencanaan, Operasi, Pengawasan Kualitas, Struktur Organisasi Pengelola, Biaya Investasi & Operasi, Tantangan/ Kendala, Manfaat Lingkungan. System Pengelolaan Air Limbah ini merupkan best practices yang dapat dicontoh oleh daerah lain baik kota atau kawasan perumahan dalam mengelola system pengelolaan air limbah.

System Pengelolaan Air Limbah - Lippo Karawaci

System Pengelolaan Air Limbah - Lippo Karawaci
System Pengelolaan Air Limbah - Lippo Karawaci
System Pengelolaan Air Limbah - Lippo Karawaci
System Pengelolaan Air Limbah - Lippo Karawaci
System Pengelolaan Air Limbah - Lippo Karawaci
System Pengelolaan Air Limbah - Lippo Karawaci
System Pengelolaan Air Limbah - Lippo Karawaci
System Pengelolaan Air Limbah - Lippo Karawaci
System Pengelolaan Air Limbah - Lippo Karawaci
System Pengelolaan Air Limbah - Lippo Karawaci
System Pengelolaan Air Limbah - Lippo Karawaci

(Sumber: Workshop Inovasi dan Peluang Investasi Air Limbah, Departemen Pekerjaan Umum – Badan Pendukung Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum di Jakarta, 14 Desember 2009)

Menentukan Titik Kontrol Tanah (GCP) Dengan Menggunakan Teknik GPS dan Citra Satelit Untuk Perencanaan Perkotaan

Oleh:

Abdul Wahid Hasyim1) , M. Taufik2)

awhasyim@yahoo.com, taufik_srmd@yahoo.com
1) Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Brawijaya Malang, sedang menempuh S3 Penginderaan Jauh di Institut Teknolologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya,
2) Dosen Pasca Sarjana Teknik Sipil FTSP-ITS, bidang Penginderaan Jauh

 Abstrak
Ketersediaan peta skala besar untuk kepentingan perencanaan di beberapa daerah atau bahkan hampir di semua daerah di Indonesia sulit ditemui. Peta skala besar 1: 1000 umumnya diperlukan untuk rencana-rencana setingkat RTRK, dan 1: 5000 setingkat RDTRK. Perencanaan dengan peta skala besar sangat memerluan akurasi posisi yang tepat karena membutuhan kedetilan yang tinggi misalnya, ketepatan pengukuran persil untuk perhitungan IMB, dan penempatan penataan kawasan dengan guna lahan pemukiman, pendidikan, komersial dan lainnya pada lahan yang seharusnya.
Koreksi geometri pada peta skala besar untuk kepentingan klasifikasi pada citra dapat dilakukan dengan salah satu metode pengukuran dengan menggunakan alat bantu GPS. Selanjutnya dilakukan pengambilan GCP pada lokasi terpilih secara berulang untuk memperkecil kesalahan dilapangan. Pada penelitian ini jumlah sampel akan ditentukan beragam agar terlihat perbedaan kesalahan yang mencolok, sehingga selanjutnya kesalahan pengambilan ataupun penentuan sampel dapat dihindari untuk memperoleh hasil yang lebih baik. Kawasan studi terpilih adalah Kecamatan Socah Kabupaten Bangkalan.

Kata Kunci: GCP, GPS, Koreksi Geometri, Peta Skala Besar

I. Pendahuluan
1.1 Latar belakang

Akhir-akhir ini GPS (Global Positioning System) menjadi sangat populer dan merambah dalam kehidupan masyarakat yang keranjingan teknologi. GPS menjadi salah satu gadget yang diburu agar tidak tertinggal oleh perkembangan jaman. Mengetahui peluang tersebut, para produden tidak tinggal diam mulailah diciptakan secara kreatif GPS yang yang terintegrasi dengan fungsi-fungsi lainnya misalnya telepone seluler (mobile phone) dan lain sebagainya.

GPS adalah satu-satunya sistem navigasi ataupun sistem penentuan posisi, selama beberapa abad ini, yang mempunyai karakteristik prima yang dapat memberikan informasi tentang posisi, kecepatan, dan waktu secara cepat, akurat, murah, dimana saja di bumi ini pada setiap saat tanpa tergantung cuaca (Soni Darmawan, Pusat Penginderaan Jauh, ITB, 2008).

Disisi lain, citra satelit merupakan perangkat vital untuk keperluan informasi pemetaan guna lahan (land use) dan tutupan permukaan lahan (land cover), maupun SIG (Geographic Information System) dll. Pencitraan (remotely sensed images) seringkali dianggap sebagai peta yang merupakan hasil proses radiometric dari permukaan bumi. Untuk memperoleh informasi peta yang benar harus memperhatikan faktor lain, yaitu penyimpangan geometri yang harus dikoreksi pada sebuah citra. Koreksi geometri atau juga dinamakan rektifikasi adalah kegiatan memperbaiki kemencengan (error), rotasi dan perspektif citra sehingga orientasi, projeksi dan anotasinya sesuai dengan yang ada pada peta.
Hal utama yang perlu diperhatikan dalam penginderaan jauh adalah bagaimana memperoleh dan menangani data secara geometri dari sebuah citra. Untuk memperoleh citra yang benar secara geografis, harus dilakukan koreksi geometri. Cara melakukan koreksi geometri bisa bermacam-macam sangat bergantung tujuan yang diinginkan. Dari kebutuhan koreksi geometri dengan kemampuan ketepatan titik kontrol tanah (GCP) tinggi hingga rendah. Khusus untuk kegiatan perencanaan perkotaan yang membutuhkan peta skala besar, dapat menggunakan citra resolusi tinggi seperti: SPOT, IRS 1 C/D, IKONOS, QuickBird dengan ketepatan akurasi GCP tingkat sedang.
Kemajuan teknologi menjadikan kemampuan resolusi digital sangat dibutuhkan bagi citra untuk keperluan penginderaan jauh, karena didalamnya tersusun piksel/pixel (picture element) yang sangat banyak jumlahnya dan tiap 1 piksel mengandung beragam data dilapangan atau dikenal sebagai resolusi spatial. Oleh sebab itu untuk menghindari berbagai kesalahan pembacaan data citra, perlu dilakukan titik kontrol tanah (GCP/ Ground Control Point) diberbagai tempat agar diperoleh ketepatan yang maksimal pada proses koreksi geometri. Pada negara berkembang khususnya Indonesia, perkembangan peta skala besar untuk keperluan pembangunan dan informasi perkotaan sangat lambat dibandingkan dengan pertumbuhan jumlah pendududuk dan ekonominya. Umumnya masih mengandalkan peta-peta garis yang sudah tertinggal dengan kebutuhannya, dan terkadang masih digunakan sebagai dasar GCP. Hal ini tentu akan mengakibatkan tingkat kesalahan yang tinggi pada koreksi geometrinya. Dengan kondisi tersebut maka, untuk memperoleh koreksi geometri pada resolusi tinggi GPS dapat digunakan sebagai alternatif yang memiliki akurasi dibawah 10 m.
Studi ini memilih kawasan Kecamatan Socah Kabupaten Bangkalan, dengan pertimbangan lokasi telah terbangun, bentuk kawasan mudah dikenali, luas kawasan studi tidak terlalu besar sehingga sesuai untuk peta skala besar.

1.2 Rumusan Masalah
Terbatasnya ketersediaan peta skala besar yang telah terbaharui untuk kepentingan perencanaan perkotaan, akan menghambat proses koreksi geometri agar menghasilkan analisis dengan tingkat akurasi yang lebih baik. Dari uraian latar belakang diatas diperoleh rumusan permasalahan, sebagai berikut:
a) Bagaimana pola sebaran pengambilan GCP pada kawasan studi dan citra untuk menghindari kesalahan dan simpangan yang besar?
b) Bagaimana memperoleh titik kontrol tanah (GCP) pada kawasan perkotaan dengan cepat dan mudah untuk keperluan koreksi geometri suatu citra?
c) Bagaimana menentukan GCP dengan nilai kesalahan dan simpangan rendah?

1.3 Tujuan Penelitian
a) Mengetahui pola sebaran GCP di lapangan dan citra agar terhindar dari kesalahan dan simpangan yang besar.
b) Memperoleh GCP dengan mudah dan cepat untuk keperluan koreksi geometri suatu citra.
c) Menentukan GCP dengan nilai kesalahan dan simpangan yang rendah

1.4 Alat dan Bahan yang digunakan
a) PC Intel(R) Core (TM)2 Duo, E4600 @ 2.4 Ghz
b) GPSMap 76 Csx
c) Software Mapsource v 6.14.1
d) Google Earth
e) Microsoft Office Excel 2007

II. Tinjauan Pustaka
2.1 GPS dan jenis perangkat
GPS atau Global Positioning System adalah suatu sistem navigasi yang berbasis pada satelit yang tersusun pada suatu jaringan yang berjumlah 24 buah yang terletak pada garis edar bumi yang dilakukan oleh Departemen Pertahanan Amerika Serikat. Awalnya GPS digunakan untuk kebutuhan militer, tetapi kemudian pada tahun 1980-an Pemerintah Amerika Serikat memberikan ijin untuk penggunaan masyarakat umum. GPS dapat digunakan dalam berbagai kondisi cuaca, dimanapun di dunia selama 24 jam/ hari dan tidak dikenakan biaya apapun dalam menggunakan jasa ini (www.garmin.com).
Terdapat 3 macam jenis GPS, yaitu;
• Geodetic,
• Mapping, dan
• Navigasi.

Pada GPS Geodetic memiliki sistem penerima (receivers) dual frekwensi yaitu mampu menangkap 2 signal L1 dan L2 bersamaan. GPS tersebut umumnya digunakan untuk keperluan survey dengan tingkat akurasi sangat tinggi dan tingkat kesalahan dibawah centi meter, misalnya kegiatan survey: konstruksi, jalan bebas hambatan, pengeboran, dan lain sebagainya.

GPS Mapping memiliki frekwensi tunggal (single frequency) yang berfungsi menerima dan mengumpulkan data-data spatial untuk kemudian dituangkan dalam kegiatan GIS/SIG (sistem informasi geografis). Tingkat ketelitian GPS ini termasuk medium (menengah) dengan kesalahan dibawah meter hingga beberapa meter (<10m). Perangkat ini biasa digunakan untuk kegiatan pemetaan.

GPS Navigasi biasa digunakan oleh sipil. Perangkat ini memiliki kemampuan lebih rendah dari GPS Mapping karena keterbatasan pada track log maupun penyimpanan waypoint (www.garmin.com) dan bahkan fasilitas kompas ataupun altimeter tidak ditemui.

2.2 Akurasi GPS

Kemampuan akurasi maupun kelengkapan fasilitas yang berbeda-beda pada jenis GPS mengakibatkan harga yang ditempelkan pada perangkat tersebut atas atas nilainya bisa berbeda dengan selisih yang jauh, dari 1 juta hingga ratusan juta bahkan milyar.

Pada 2 jenis GPS terakhir (Mapping dan Navigasi), memiliki akurasi semakin baik pada akhir-akhir ini. Dua hal utama yang mempengaruhi keakuratan GPS adalah Selective Availability (SA) dan multipath. SA adalah upaya sengaja dari pihak Departemen Pertahanan Amerika Serikat untuk mengurangi akurasi GPS dalam rangka melindungi negaranya. Awalnya SA menyebabkan akurasi GPS sebesar 100 meter, artinya posisi obyek berada dalam radius 100 meter dari yang seharusnya. Beruntunglah pada awal tahun 2000 Pemerintah Amerika Serikat mencabut kebijaksanaan SA tersebut sehingga akurasi GPS pada umumnya menjadi sekitar 10 meter. Angka ini cukup memadai untuk GPS genggam. Dengan asumsi peta yang kita tampilkan di layar memiliki skala 1:10.000, maka kesalahan 10 meter di lapangan hanya setara dengan 0,1 milimeter di layar display GPS, artinya tidak masalah jika diabaikan (Larry A Wagnet, Kompas, 2 April, 2004).

Keakuratan juga dipengaruhi oleh gangguan yang disebut dengan multipath. Kesalahan ini terjadi akibat sinyal yang ditangkap oleh antena GPS terpantulkan terlebih dahulu ke obyek di sekeliling GPS semisal gedung maupun batang pohon. Artinya, posisi yang terekam oleh antena GPS sebenarnya adalah posisi gedung atau pohon yang memantulkan sinyal tersebut dan bukannya posisi kita berdiri. Untuk menghindari hal tersebut, dianjurkan pada saat mengoperasikan GPS hendaknya memilih lokasi yang relatif terbuka.

Cara lain yang populer untuk aplikasi sipil adalah Differential GPS atau disingkat DGPS. DGPS menggunakan satu stasiun Bumi penerima sinyal GPS. Karena stasiun Bumi ini tahu persis lokasi sesungguhnya, ia bisa menghitung seberapa besar kesalahan informasi GPS pada satu waktu tertentu. Informasi kesalahan ini dikirimkan oleh stasiun DGPS ke alat penerima DGPS agar bisa membuat koreksi yang lebih presisi. Beberapa negara memutuskan membangun sistem DGPS nasional, misalnya, USCG DGPS (United States Coast Guard DGPS) dan WAAS (Wide Area Augmentation System) di AS, CDGPS (Canada-wide DGPS) dan AMSA DGPS (Australian Maritime Safety Authority DGPS). DGPS biasanya punya akurasi sampai 1 meter, tetapi makin jelek jika semakin jauh dari stasiun Bumi DGPS (www.navigasi.com/forum).

2.3 Titik Kontrol Tanah (GCP)

GCP (Ground Control point) atau titik kontrol tanah adalah proses penandaan lokasi yang berkoordinat berupa sejumlah titik yang diperlukan untuk kegiatan mengkoreksi data dan memperbaiki keseluruhan citra yang akhirnya disebut sebagai proses rektifikasi. Tingkat akurasi GCP sangat tergantung pada jenis GPS yang digunakan dan jumlah sampel GCP terhadap lokasi dan waktu pengambilan.
Lokasi ideal saat pengambilan GCP adalah perempatan jalan, sudut jalan, perpotongan jalan pedestrian, kawasan yang memiliki warna menyolok, persimpangan rel dengan jalan dan benda/ monumen/ bangunan yang mudah diidentifikasi atau dikenal. Perlu dihindari pohon, bangunan, dan tiang listrik selain sulit diidentifikasi, karena kesamaannya yang tinggi.

III. Metodologi
Pada saat akan melakukan GCP, terdapat 3 hal yang harus diperhatikan:
i) Tingkat Akurasi, yang bergantung pada jenis perangkat GPS yang digunakan
ii) Lokasi pengambilan sampel, berkaitan dengan tempat pemilihan titik-titik kontrol dilapangan pada daerah/ sudut yang mudah dikenali.
iii) Merupakan kawasan skala kota: 1:5000, 1: 1000
3.1 Rata-rata Hitung
Jumlah sampel yang lebih dari satu pada suatu kawasan bertujuan untuk memperkecil kesalahan akibat kualitas signal satelit yang selalu berubah, dapat disebabkan karena jenis perangkat, dan lingkungan sekitar yang menghalangi daya tangkap signal. Rata-rata hitung dapat digunakan untuk mengetahui apakah suatu kegiatan terjadi atau kenaikan dari suatu target yang diinginkan. Setelah dilakukan pengambilan sampel dilakukan rata-rata hitung koordinat GCP dengan rumus:

rata2 hitung

3.2 Simpangan Baku (s)

Simpangan baku digunakan untuk menguji pemakaian suatu alat, apakah alat tersebut layak dipakai atau tidak dengan penetapan simpangan baku yang normal di gunakan.

simpangan baku

3.3 Koefisien Varian (v)
Variansi adalah rata-rata kuadrat selisih atau kuadrat simpangan dari semua nilai data terhadap rata-rata hitung. Variansi untuk sampel dilambangkan dengan s².
dan

koef-varian

Variansi < 10% menunjukkan simpangan kecil dan data dapat diterima.

3.4 Kawasan Studi Terpilih
Lokasi kawasan memiliki bentuk mudah dikenali dan luasan tidak terlalu besar (± 1 Km²), terletak pada L 74’48.46’’ S dan B 11242’21.60’’ T sampai L 75’53.12’’ S dan 11253,33” E, Kecamatan Socah Kabupaten Bangkalan. (gambar-1)

bangkalan-2

track bgkln

Gambar-1. Citra Kecamatan Socah Kabupaten Bangkalan dan Track lapangan

IV. Pembahasan
4.1 Perekaman GCP
Dilakukan perekaman / pengambilan GCP berulang-ulang pada tiap daerah yang diamati untuk memperkecil kesalahan (error) saat menentukan GCP rata-rata. (gambar-2)

GCP-kuning

Gambar-2. GCP berwarna kuning diambil secara berulang-ulang

Setelah titik kontrol tanah dikumpulkan pada proyeksi Lintang dan Bujur , datum WGS 84 selanjutnya untuk mencari harga rata-rata koordinat dilakukan penyesuaian dari sistem koodinat DMS (derajat, menit, detik) menjadi sistem desimal yaitu koordinat (x,y). Terdapat 10 titik pengambilan (P1-P10) pada P4 diabaikan karena mengalami penyimpangan terlalu jauh, disebabkan P4 berada di luar wilayah pengambilan (notasi warna merah pada tabel-1).

tabel-1 GCP
4.2 Pola Sebaran GCP

Pola sebaran GCP-1

Seperti pada gambar-3, GCP bertanda garis merah putus-putus (P4) pada kondisi dilapangan berada diluar kelompok pengambilan titik kontrol. Lebih jelas terlihat pada gambar berikut (Gambar-4). Pada GCP1 (P1,P2,P3), dilakukan pengambilan 3 sampel berbeda dalam satu grup daerah dengan selisih waktu 1 menit (11.30-11.31). Untuk GCP2 (P5,P6,P7,P8), perbedaan waktu yang cukup jauh terjadi pada P4 (2menit/ lihat tabel-1) yang selanjutnya diabaikan. Pada GCP3 (P9,P10), dilakukan pengambilan sampel 2 titik yang pada akhirnya terlihat simpangannya lebih besar dibandingkan GCP1 dan GCP2.

pola sebaran GCP

Gambar-4. Pola sebaran GCP dilapangan.

GCP1

Gambar-5. Detil wilayah pengambilan GCP1

GCP2

Gambar-6. Detil wilayah pengambilan GCP2 dengan P4 diluar kelompok

GCP3

Gambar-7. Detil wilayah pengambilan GCP3

4.4 Rata hitung, Simpangan, dan Variansi

tabel-2 rata hitung

Tabel-2. Rata Hitung

Dari beberapa sampel titik kontrol diperoleh koordinat rata-rata; GCP1 (112,7123038, -7,0968204), GCP2 (112,707167, -7,091724325), dan GCP3 (112,7132388, -7,08240025). Selanjutnya makin terbukti pengambilan sampel dengan jumlah yang sedikit akan memberikan simpangan lebih besar dibanding dua GCP lainnya (lihat tanda lingkaran merah dengan garis putus-putus pada tabel-3 lanjutan), seperti pada GCP3 yaitu: Vx= 0,000082% pada absis (x) dan Vy= 0,0016% pada ordinat (y) (tabel-3). Pada Variansi diambil harga mutlak.

tabel-3 simpangan dan variansi

V. Penutup
5.1 Kesimpulan.
• Pada penentuan titik kontrol tanah (GCP) untuk keperluan koreksi geometri yang dilakukan di Kecamatan Socah Kabupaten Bangkalan, secara keseluruhan menunjukkan kinerja alat GPSMap 76 Csx bekerja dengan baik. Hal ini terlihat dari tingkat kesalahan yang rendah masih dibawah 10%.
• Pada peta skala besar khususnya untuk kebutuhan perencanaan perkotaan, kemampuan GPSMap 76 Csx untuk kegiatan GCP dapat menunjukkan ketepatan/ akurasi sangat baik.
• Selisih simpangan yang relatif besar (v) diakibatkan jumlah GCP sebagai sampel terlalu sedikit, selanjutnya diusahakan agar jumlah sampel diperbanyak minimal 3 buah GCP.
• Metoda menghitung rata-rata GCP yang digunakan, mengasumsikan koordinat yang diambil tidak memiliki sudut sedangkan satelit yang menangkap data memiliki sudut datang dan pantul.
5.2 Saran
• Untuk keperluan wilayah yang lebih luas, sebaiknya menggunakan GPS lebih dari satu untuk menghindarkan kesalahan pembacaan, dan simpangan yang besar selain sebagai kontrol.
• Pada penelitian berikutnya, hendaknya juga memperhatikan sudut koordinat dengan pertimbangan letak satelit yang tidak tegak lurus dengan lokasi GCP

(**) Telah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Teknik Sipil V-2009. ITS. 11 Februari 2009

PUSTAKA

1. Larry A. Wagnet, (2004), “Global Positioning System”, Kompas, 2 April.
2. Soni Darmawan, (2008), “Perkembangan Teknologi GeoInformasi di Indonesia: Global Positioning Sistem (GPS), Remote Sensing (RS) dan Sistem Informasi Geografis (SIG)”, Pusat Penginderaan Jauh, ITB.
3. S. Alhamlan, J. P. Mills , A. S. Walker , T. Saks, ” The Influence Of Ground Control Points In The Triangulation Of Leica Ads40 Data”, The International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences, Vol. 34, Part XXX.
4. 7. S. K. Katiyar, Onkar Dikshit , Krishna Kumar, (2002), “GPS for geometric correction of remotely sensed imagery: possibilities after termination of SA”, Asian GPS Proceeding.
5. http://www.garmin.com
6. http://www.navigasi.com/forum